Wednesday, December 24, 2008

Era Ekonomi Kreatif

Suara Merdeka tanggal 24 Desember 2008(kolom GAGASAN)

Surat sakti, katebelece hingga telepon sakti adalah kisah nyata, bukan isapan jempol. Selama masih ada tradisi bangga unjuk kesaktian, pasti ada biaya ekstra.

Akibatnya muncul ekonomi biaya tinggi yang bagai kanker ganas dengan cepat menyebar dan melumpuhkan sendi perekonomian bangsa. Konsekuensinya, saat negara lain menyerbu ke pasar potensial, produk domestik menjadi tamu di negeri sendiri.

Apalagi untuk berkompetisi di pasar dunia. Ada yang berkelimpahan karena perannya sebagai broker, tapi produsen tetap di negara asalnya. Sinyalemen bahwa pelaku ekonomi domestik tidak efisien, ada benarnya. Karena mereka harus memikul biaya ekstra, biaya yang bukan seharusnya. Tentu tidak diharapkan, komponen biaya tinggi ini menggerogoti pos biaya lain yang seharusnya lebih berhak.

Semua sepakat, ini tidak sehat. Saatnya ekonomi biaya tinggi diakhiri sampai hari ini saja. Banyak orang kreatif di negeri ini. Yang membedakan dengan ‘’kreativitas’’ adalah, karyanya istimewa dan diakui dunia. Kemampuannya menuangkan imajinasi rasa keindahan secara utuh dalam karya, tidak mungkin digantikan sekali pun oleh mesin tercanggih.

Tak salah ungkapan Elbert Hubbard (817-1895, pengarang AS): ‘’Satu mesin mungkin bisa menggantikan dan menyamai kualitas 50 pekerja biasa. Namun, tak satu pun mesin sanggup menggantikan dan menyamai kualitas seorang pekerja istimewa’’.

Tak heran, bila kreativitasnya mengandung nilai tinggi (valuable), juga berjiwa karena keunikannya ada makna kesakralan (sacred). Rasa seperti ini tak akan ditemukan pada produk mesin. Padat karya, hemat devisa.

Karena tak tergantikan oleh mesin impor yang berharga mahal dengan perawatan yang rawan mark up, menyerap dan membekali keterampilan pada angkatan kerja, sekaligus membuka lapangan kerja.

Terus berkarya, menembus pasar hingga go international tanpa tergantung fasilitas. Ujung tombak yang mandiri dan tidak manja, kata-kata ini paling tepat untuk mewakili. Pelaku ekonomi kreatif adalah play maker, workers sekaligus stricker yang haus gol berkaliber internasional yang berjuang tanpa kenal menyerah sampai terciptanya gol menentukan.

Kehadiran pelaku ekonomi kreatif, tak perlu dengan mengalih fungsi berhektare tanah pertanian produktif menjadi pabrik bertenaga kerja ribuan dengan keterampilan yang serba standar.Tak menguras apalagi menggadaikan kekayaan alam. Karyanya sudah lama sampai mancanegara, tanpa perlu pakai upacara pecah kendi, dengan seremoni yang dihadiri petinggi. Tak rentan migrasi industri, karena mereka anak-anak Ibu Pertiwi. Mereka entrepreneur, juga investor sejati.

Beberapa waktu lalu ada surat pembaca di sebuah koran berjudul ‘’Industri Kreatif, Quo Vadis?’’. Penulisnya, Teguh Ostenrik tinggal di Jakarta, seorang pematung yang usai pameran dari luar negeri.
Pulang ke Indonesia, barang/karyanya tertahan di pelabuhan karena untuk mengeluarkan harus berbelit dan perlu biaya ekstra (besar). Sang ujung tombak pun menjadi ujung tombok.
Pelaku ekonomi kreatif tak boleh didiskriminasi apalagi jadi sasaran pungli hanya karena mereka umumnya tak punya koneksi. Apa pun alasannya.
Tak perlu dicemburui, justru mesti disyukuri dan dimotivasi. Diundang untuk memamerkan karya di luar negeri saja, harusnya sudah diakui dan dihargai sebagai bentuk mengharumkan nama bangsa dan negara. Bahwa kemudian beruntung, itu hak yang sudah pantas dan selayaknya dari proses perjuangan panjang. Menghasilkan devisa lagi.

Sebagai warga negara, ada kebanggaan luar biasa mendengar gaun pengantin penyanyi kondang Siti Nurhalisa asal negara Malaysia, ternyata rancangan Anne Avantie dari Semarang. Jiwa entrepreneur yang diidentikkan tahan banting, tahan uji, menjadi menarik dibahas sebagai wacana di ruang kuliah/diskusi.
Tapi, akan lebih baik bila mau terjun langsung. Pasti bisa lebih memahami.
Ah... mereka kan punya modal... Modal (uang), biasanya selalu dijadikan dalih pembenar. Tapi, fakta berbicara lain. Buktinya, bukannya memperkuat barisan entrepreneur, banyak tokoh mapan yang lebih nyaman mendirikan parpol.
Tak tanggung, uang bertebaran di jalan raya, sudut kota hingga pelosok desa dalam bentuk spanduk, baliho, dan iklan gencar di media elektronik dan cetak.

Daripada merasa berjasa dan dengan (menyalahgunakan) kewenangannya merasa berhak memungut biaya ekstra, bukankah lebih positif bila ramai-ramai terjun langsung.
Keberhasilan menjadi hak siapa saja yang melakukan proses secara semestinya. Indonesia sejahtera bila dalam waktu singkat pelaku ekonomi kreatif/entrepreneur, (bukan jumlah parpolnya), yang meningkat 200%.

Pelaku ekonomi kreatif walau tanpa atribut, sejatinya adalah penjaga Negara Kesatuan RI. Saya pikir ini sangat tak berlebihan. Batik, angklung, jamu, identik dengan Indonesia.

Kreasinya adalah antibodi.Yang akan membuat negeri ini imun dari epidemi yang disebut Presiden Soekarno sebagai neokolonialisme dan imperialisme (nekolim). Dan kebal dari pandemi akibat virus jahat yang bernama resesi global. Tak banyak menuntut, berkarya nyata, memberi manfaat bagi bangsa. Mereka sangat perlu suasana kondusif untuk terus berkreasi.

Purnomo Iman Santoso (EI)
Villa Aster II Blok G/10 Srondol, Semarang